Sabtu, 29 Januari 2011

setitik asa buat ibu

Segala nya untukmu
Setiap helakan nafasku
Terukir suatu harapan
Kehilanganmu tak pernah terbayangkan dalam hidupku
Kebahagian bersamamu
Sirna karna kepergianmu
Semua harapan hilang
Dengan berita kepergianmu
Tak pernah terbayangkan
Engkau kan pergi dengan cepatnya
Dikala aku belum mampu memberi
Setitik kebahagian dalam tawa dan kesedihanmu
Sekarang ku bingung akan mengabdi pada siapa lagi
Mendengar panggilanmu padaku saat ini
Menjadi impian terbesar bagiku
Namun akankah itu tercapai......
Karya.ihsan asmuni
Didedikasikan for my mom
I hope you have nice place there
Love you mom ( almh.Hj Wa Ima)

Jumat, 28 Januari 2011

posisi dilematis parsel bagi pejabat

parsel merupakan suatu bentuk perwujudan dari sebuah tali asih yang menjadi konsekwensi bagi seluruh insan.keberadaan parsel dapat menunjang sisi keharmonisan hubungan horisontal setiap manusia.pemberian parcel bagi setiap manusia sudah menjadi tradisi hal ini pula sudah menjadi salah satu budaya bagi sebagian masyarakat.hal ini pula berlaku bagi masyarakat indonesia yang dikenal santun dalam berinteraksi kesesamanya.pada hakekatnya pemberian parcel ini sangat bernilai positive bagi suatu interaksi namun saat ini pemberian parcel disalah gunakan bagi sebagian pihak. hal ini terjadi dalam kalangan pemerintahan,politik.saat ini pemberian parcel bagi sebagian pejabat atau apapun dalam dunia pemerintahan merupakan sebuah kemasan baru untuk melakukan lobi yang bertujuan untuk merubah keputusan sipenerima parcel,agar putusan/kebijakannya dapat menguntunngkan sipemberi parcel.oleh karena hal inilah yang menjadikan keberadaan parcel saat ini menjadi posisi yang dilematis.untuk menyelesaikan persoalan ini dapat kita menilik sedikit keterangan-keterangn dibawah ini :
keberadaan parcel dikalangan penyelenggara negara menjadi polemik ketika lahirnya UU No 20 tahun 2001 yang dalam penjelasan pasal 12 ayat 1 yang memberikan penjelasan mengenai pengertian gratifikasi bahwasanya gratifikasi menurut penjelasan pasal 12 ayat 1. gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi yakni pemberian uang,barang,discount,komisi,pinjaman tanpa bunga,tiket perjalanan wisata,pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.hal ini pula yang menjadikan pemberian parcel bagi penyelenggara negara menjadi dilematik. didalam pasal 12 ayat 1 menjelaskan Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut dan seterusnya …”.
bagi penyelenggara posisi dilematis parcel ini dapat menghambat hubungan kesesamanya.
untuk menjawab posisi dilematis ini penulis beranggapan bagi setiap penyelenggara tidak perlu takut untuk memberi parcel dan menerima parcel sepanjang pemberian parcel tersebut masih berada dalam lingkup kewajaran untuk menyambung komunikasi horizontal.dikarenakan dialam peraturan perundang-undangan kita saat ini telah menetapkan pemebrian parcel yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.namun sudah seyogyanya setiap penyelenggara negara harus berhati-hati dalam menerima ataupun memberi parcel.menerima atau memberi parcel dapat dikatakan suatu tindakan gratifikasi apabila hal ini berhubungan dengan jabatannya atau yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sesuai dengan pasal 12 ayat 1 UU No.20/2001.jadi menurut penulis pemberian parcel ini harus terlebih dahulu melihat motivasi pemberinya dalam memberikan parcel jika dalam konteks pemberian parcel hanya sebuah perbuatan untuk menjaga keharmonisan hubungan interaksi horizontal tidak menjadi persoalan sepanjang pemberiannya tersebut dalam pertimbangan hukum masih dalam kondisi normal. pemberian parcel akan menjadi suatu perbuatan gratifikasi apabila motivasi pemberinya tersebut dapat merubah keputusan sipenyelenggara negara dalam suatu kebijakan yang bersangkutan dengan sipemberi.

oleh :
Ihsan Asmuni SH

Jumat, 21 Januari 2011

keadilan yang terpertaruhkan

Rasa keadilan yang terpertaruhkan
Indonesia dalam momen kebangkitannya kembali setelah masalah resesi ekonomi ditahun 1998 menjadi sebuah ujian berat lagi bagi kebangkitan tersebut. Hal ini disebabkan karena kekurang siapan bangsa kita yang besar ini dalam menghadapi masa – masa itu seharusnya dikala para founding fathernya reformasi ditahun tersebut telah menyiapkan sebuah maket perubahan yang matang untuk menghadapinya.
Salah satu hal yang membuat semakin nampaknya ketidaksiapan bangsa ini dalam menghadapi era reformasi adalah dalam hal penegakan hukum. Saat ini masyarakat indonesia telah dilanda sindrom ketidak percayaan terhadap penegakan hukum dibangsa ini. Bagi masyarakat awam yang melihat penegakan hukum dinegara ini yang notabenenya bahwa bangsa ini berlandaskan hukum selalu berkata buat apa ada hukum kalau ternyata hukum itu dapat dibeli. Hal ini sungguh ironis dikala setiap tahunnya bangsa ini mengeluarkan biaya yang banyak untuk perbaikan penegakan hukum dibangsa ini.
Slogan law not for sale saat ini hanyalah menjadi sebuah isapan jempol belaka. Malahan saat ini telah berkembang sebuah slogan baru yang mengatakan bahwa memang hukum tidak untuk dijual melainkan law is bisnis. Dan kenyataan saat ini hal itu telah menjadi sebuah perbuatan yang secara terang-terangan dilakukan oleh para penegak hukum kita yang terhormat. Hal ini dapat kita lihat dengan berapa banyaknya para penegak hukum kita yang tersandung kasus hukum dikarenakan menyalahgunakan kewenangannnya yang beimplikasi pada penegakan hukum sehingga lahir sebuah kata law is bisnis. Maka sangat tidak salah bagi masyarakat indonesia hari ini mengatakan bahwa hukum dinegara ini dapat dibeli. Sungguh lucunya negeri ini.
Bagi masyarakat kecil yang sedang mencari keadilan dinegeri ini sudah merasa mereka tidak akan mendapatkannya. Dikarenakan pendapat mereka tentang penegakan hukum sudah berada pada dimensi ketidakpercayaan sehingga sungguh sulit bagi para aktifis hukum untuk meyakinkan kembali bahwa penegakan hukum itu tidak seperti yang mereka bayangkan.
Sudah selayaknya saat ini pemerintah menjadikan prioroitas utama mengenai persoalan penegakan hukum dibangsa ini. Pemerintah saat ini haruslah mengembalikan penegakan hukum pada rel dan fitrahnya. Segala sesuatu yang mencoba untuk merusakinya kembali haruslah ditindak tegas.
By.
Ihsan asmuni SH

Kamis, 20 Januari 2011

Senyum Ibu Segalanya

Senyummu yang hadir dalam mimpiku
Memberikan setitik harapan bagiku
Dalam kebingungan perjalananku
Senyummu memberikan kesegaran terhadap pengarunganku
Dalam segala kerahasian sang ilahi
Ma....aku tahu engkau telah tenang disana
Namun kegundahan terus melanda anakmu
Bingung seperti apa jadinya anakmu ini
Tanpa figur seorang pahlawan sepertimu
Setiap aliran waktu terasa berat untuk dilalui
Tanpamu.....
Ma....hadirlah sealu dalam mimpi anakmu ini
Karna hanya dengan senyummu aku bisa dapat bertahan
Melawan badai,gelombang yang tak punya belas kasihan
Menerpaku....

Oleh: Ihsan Asmuni
Senyum ibu segalanya
For My Mom (Hj.Wa Ima)

Rabu, 19 Januari 2011

analisis hukum kekuatan sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit perbankan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian Indonesia dalam masa setelah terjadinya resesi ekonomi, belum ada tanda-tanda pemulihan dari krisis ekonomi dan kini telah menjadi masalah nasional. Satu persatu lembaga perbankan konvensional dan lembaga keuangan lainnya kewalahan dalam menghadapi krisis ekonomi tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pembangunan ekonomi suatu Negara diperlukan adanya pengaturan mengenai pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang tersedia secara terarah dan terpadu serta dimanfaatkan secara maksimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan ekonomi adalah sebuah proses untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana dirumuskan dalam mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu sarana untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut adalah dengan adanya lembaga perbankan. Oleh karena itu lembaga ini mempunyai peranan vital dalam menunjang pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional.
Dalam Undang–Undang No.10 Tahun 1998 sebagai revisi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Pada Pasal 1 angka 1, Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,mencakup kelembagaan,kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Pembangunan di bidang ekonomi,merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut,yang para pelakunya meliputi pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah Perbankan.
Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana.
Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit.
Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit.
Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa resiko , karena suatu resiko mungkin saja terjadi. Resiko yang umumnya terjadi adalah resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank.
Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Bank harus dapat bersikap bijak dalam memberikan pinjaman atau kredit kepada masyarakat sehingga dalam hal ini pihak bank haruslah memperhatikan prinsip-prinsip penyaluran atau pemberian kredit. Prinsip penyaluran kredit adalah prinsip kepercayaan, tenggang waktu,degree of risk, resiko, prestasi/objek kredit.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit,bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal agunan, dan prospek usaha dari debitur. Apabila unsur-unsur yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan.
Kita mengenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktek di masyarakat, yaitu:
1. Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly),
2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid).
.Praktik jaminan kebendaan yang sering digunakan pada perbankan Indonesia, adalah jaminan kebendaan yang meliputi:
1. Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162 KUH Perdata);
2. Fiducia (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara kepercayaan
3. Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan.
Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Tahun 1996, maka hipotek yang diatur oleh KUHPerdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan hutang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah.
Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang untuk selanjutnya disebut UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai berikut : “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”
Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu, praktek pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.
Dalam pemberian kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan, biasanya pihak bank sebagai kreditur tidak akan langsung memasang Hak Tanggungan, tetapi melalui proses yang telah ditetapkan oleh pihak Bank sampai dengan dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, kemudian diikuti dengan pembebanan Hak Tanggungan yang dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap Pemberian Hak Tanggungan dan tahap pendaftaran Hak Tanggungan.
Mengingat kedudukan kreditur didalam suatu perikatan perjanjian kredit dengan menggunakan hak tanggungan sangat menentukan bagi keberhasilannya suatu perjanjian,maka kreditur sangat diharapkan memberikan sumbangsih yang besar bagi para pihak yang melaksanakan perjanjian kredit. Walaupun kedudukan kreditur dalam perjanjian kredit sangat menentukan namun berdasarkan penjelasan – penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwasanya kreditur memiliki resiko yang cukup besar jikalau terjadi suatu wanprestasi.
Olehnya itu kreditur/bank diharuskan memiliki suatu langkah yang dapat mengamankan dirinya dari segala akibat yang akan timbul dari perjanjian kredit tersebut. Salah satu langkah yang saat ini sering digunakan oleh pihak bank adalah dalam setiap melakukan transaksi perjanjian kredit diharapkan para nasabah/debitor dalam mengajukan suatu permohonan kredit melampirkan suatu jaminan sebagai konsekwensi dari pengajuan permohonan kredit yang menggunakan hak tanggungan. Salah satu hal yang termuat didalam lampiran permohonan itu adalah harus diadakannya suatu surat kuasa memberikan hak tanggungan sebagai salah satu persyaratan untuk dibuatkannya akta pemberian hak tanggungan dan APHT tersebut sebagai persyaratan dibuatkannya sertifikat hak tanggungan oleh Badan Pertanahan Nasional
Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan, pendaftaran Akta pemberian Hak Tanggungan yang kemudian dibuatkan sertifikat hak tanggungan oleh Badan Pertanahan Nasional dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum antara pihak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Mengingat hal diatas maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai “ Analisis Hukum Kekuatan Sertifikat Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan”

B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan alasan pemilihan judul penelitian, maka dirumuskan masalah-masalah untuk dijadikan pedoman penelitian agar mencapai sasarannya. Adapun masalah-masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut. :
1. Bagaimanakah pelaksanaan Pemberian Sertifikat Hak Tanggungan ditinjau dari aspek hukum perjanjian?
2. Apakah akibat hukum yang ditimbulkan dengan lahirnya sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit perbankan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Pemberian sertifikat hak Tanggungan ditinjau dari aspek hukum perjanjian
2. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dengan lahirnya sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit perbankan.




D. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh antara lain :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum perikatan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada semua pihak, khususnya kepada perbankan diindonesia dan nasabahnya yang akan melakukan suatu perikatan dengan bentuk perjanjian kredit.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif kepada perbankan pada umumnya dan seluruh Kantor Cabang perbankan dikota Raha khususnya sehingga dalam memberikan jasa pada nasabahnya dapat memberikan pelayanan yang benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip perbankan.
4. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kepustakaan bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan kekuatan sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit perbankan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar hukum perjanjian kredit dengan menggunakan hak tanggungan
1. Pengertian perjanjian kredit
a. Perjanjian
Secara etimologis perjanjian atau kontrak dapat diartikan sebagai berikut:
Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih (Yan Pramadya Puspa).

Sedangkan WJS.Purwadarminta dalam bukunya kamus umum bahasa Indonesia memberikan defenisi atau pengertian perjanjian tersebut sebagai berikut:
Persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana berjanji akan menaati apa yang tersebut dipersetujuan itu.

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata).

Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.
Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.Didalam Hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut di istilahkan dengan perbuatan hukum.
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara sengaja untuk menunjukan hak dan kewajiban.menurut CST Kansil,
1. Perbuatan Hukum sepihak,yaitu perbuatan hukum yang dulakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula misalnya:
a. Pembuatan surat wasiat
b. Pemberian hadiah suatu benda (Hibah).
2. Perbuatan Hukum dua pihak,yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi pihak (timbal balik) misalnya membuat persetujuan jual beli,sewa-menyewa,dan lain-lain.dari uraian di atas jelas terlihat bahwa perbuatan Hukum itu juga meliputi perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para pihak.
Menyangkut apa yang telah diperjanjikan masing-masing pihak harusnya saling menghormati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan sebab di dalam ketentuan Hukum yang terdapat dalam Al Qur’an antara lain dalam surah Al Maidah ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.

Adapun yang dimaksud dengan akad atau perjanjian adalah janji setia kepada Allah,dan juga meliputi perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.
Dari ketentuan Hukum di atas dapat dilihat, bahwa apapun alasannya bagi seseorang pelanggar hukum maka akan dikenakan sangsi. Penjatuhan sangsi tersebut dengan alasan melanggar perjanjian atau dalam istilah lain dinamakan dengan wanprestasi.
a. Syarat Sahnya Perjajian
Menurut KUHPerdata pasal 1320 ada 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu
1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak,yaitu bertemunya antara penawaran dengan penerimaan.Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berubah bicara.Baik dengan tertulis maupun dengan secara tidak tertulis.
Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum ( perjanjian ).
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ke tiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas.Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang tertentu.
Mengenai suatu sebab yang halal,hal ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Kata halal yang dimaksudkan bukan untuk memperlawankan kata haram dalam islam tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut dapat bertentangan dengan undang-undang Kesusilaan dan Ketertiban Umum.
b. Kredit
Kredit berasal dari kata italia, credere yang artinya kepercayaan,yaitu kepercayaan dari kreditor bahwa debitornya akan mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai dengan perjanjian kedua bela pihak.Tegasnya,kreditor percaya bahwa kredit itu tidak akan macet.
Prinsip penyaluran kredit adalah prinsip kepercayaan dan kehati-hatian.Indikator kepercayaan ini adalah kepercayaan moral, komersial, finansial, dan agunan.Kepercayaan dibedakan atas kepercayaan murni dan kepercayaan reserfe.
Kepercayaan murni adalah jika kreditor memberikan kredit kepada debitornya hanya atas kepercayaan saja,tanpa ada jaminan lainnya.misalnya: masyarakat (SSU menabungkan uangnya (Deposito,R/K) pada suatu bank hanya atas kepercayaan saja,karena bank hanya memberikan tanda bukti berupa bilyet deposito,blanko buku cek,atau bilyet Giro kepada penabungnya.
Kepercayaan reserve diartikan kreditor menyalurkan kredit atau pinjaman kepada debitor atas kepercayaan, tetapi kurang yakin sehingga bank selalu meminta agunan berupa materi (seperti BKPB,dan lain-lain). Bahkan suatu bang dalam penyaluran kredit lebih mengutamakan agunan atas pinjaman tersebut.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan (UU RI No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan Bab 1,ayat (12) juncto UU No. 10 tahuun 1998 ).
Kredit adalah semua jenis pinjaman yang harus dibayar kembali bersama bunganya oleh peminjam sesuai dengan perjanjian yang telah di sepakati(DrsH.Malayu S.P Hasibuan).
Kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta pada waktu yang akan dating karena penyerahan barang-barang sekarang (Bymont P.Kent,dikutip oleh Drs.Thomas Suyanto dkk,1990:15).

c. Fungsi dan Tujuan Kredit
Fungsi kredit bagi masyarakat,antara lain dapat :
1. Menjadi motivator dan dinamisator peningkatan kegiatan perdagangan dan perekonomian
2. Memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarkat
3. Memperlancar arus barang dan arus uang
4. Meningkatkan hubungan internasional (L/C,CGI,dan lain-lain)
5. Meningkatkan produktivitas dana yang ada
6. Meningkatkan daya guna (utility) barang
7. Meningkatkan kegairahan berusaha masyarakat
8. Memperbesar modal kerja perusahaan
9. Meningkatkan income per capita (IPC) masyarakat
10.Mengubah cara berpikir atau bertindak masyarakat untuk lebih ekonomis
Tujuan penyaluran kredit, antara lain adalah untuk :
1. Memperoleh pendapatan bank dari bunga kredit
2. Memanfaatkan dan memproduktifkan dana-dana yang ada
3. Melaksanakan kegiatan operasional bank
4. Memenuhi permintaan kredit dari masyarakat
5. Memperlancar llu lintas pembayaran
6. Menambah modal kerja perusahaan
7. Meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan masyarakat.
e. Jenis-Jenis Kredit
Jenis kredit dibedakan berdasarkan sudut pendekatan yang kita lakukan, yaitu berdasarkan tujuan kegunaannya,jangka waktu,macam, sector perekonomin, agunan, golongan ekonomi,serta penarikan dan pelunasan.
a. Berdasarkan Tujuan atau kegunaanya
1. Kredit konsumtif
2. Kredit modal kerja (kredit perdagangan)
3. Kredit investasi
b. Berdasarkan Jangka Waktu
1. Kredit jangka pendek
2. Kredit jangka menengah
3. Kredit janka panjang
c. Berdasarkan macamnya
1. Kredit aksep
2. Kredit penjual
3. Kredit pembeli
d. Berdasarkan Sektor Perekonomian
1. Kredit pertanian
2. Kredit perindustrian
3. Kredit pertambangan
4. Kredit ekspor-impor
5. Kredit koperasi
6. Kredit profesi
e. Berdasarkan Agunan atau Jaminan
1. Kredit agunan orang
2. Kredit aguanan efek
3. Kredit agunan barang
4.Kredit agunan dokumen
f. Berdasarkan Golongan Ekonomi
1. Golongan ekonomi lemah
2. Golongan ekonomi menengah dan konglomerat
g. Berdasarkan Penarikan dan Pelunasan
1. Kredit rekening Koran
2. Kredit berjangka



2. Dasar hukum perjanjian kredit
Dasar hukum dari perjanjian kredit adalah pasal 1320 Kitab Undang-undang hukum perdata(KUHPerdata) juncto pasal 1338 KUHPerdata.Semua perjanjian yang dibuat secaara sah berlaku sebagai undang-undang yang berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Salah satu dasar yang cukup jelas bagi Bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah dari bunyi pasal 1 ayat 12 Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan,dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasar persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain.
Kredit yang diberikan oleh kreditor mengandung resiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitor melunasi utangnya.Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 UU Perbankan No.7/1992 yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.

3. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan menurut ketentuan pasal 1 butir 1 Undang-undang no 4 tahun 1996 tentang Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagai mana dimaksud dalam undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria berikut atau tidak benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yng diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Dari rumusan pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-undang N0.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.
Kemudian angka 4 penjelasan umum atas Undang-Undang Hak Tanggungan antara lain mengatakan Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang-utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cedera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lain.
Jadi hak Tanggungan itu merupakan lembaga Hak Jaminan kebendaan atas hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lain.Jaminan yang diberikan, yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditor-kredior lainnya bagi kreditor pemegang hak tanggungan.
Sesuai dengan perumusan pengertian Hak Tanggungan diatas,hak tanggungan dimaksud hanya hak tanggungan yang dibebani dengan hak atas tanah atau dengan kata lain Undang-Undang Hak Tangguungan hanya mengatur lembaga hak jaminan atas hak atas tanah belaka, sedangkan hak lembaga hak jaminan atas benda-benda lainnya,selain hak atas tanah tidak termaksud dalam luas ruang lingkup pengertian hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Lembaga-lembaga Hak jaminan diluar hak tanggungan tersebut akan dibiarkan berkembang sendiri-sendiri sesuai dengan perkembangan kebutuhan Hukum dan Masyarakat.
Apabila pengertian diatas dirinci lebih lanjut, terdapat beberapa unsure asensial yang merupakan ciri-ciri dari hak tanggungan tersebut yaitu:
1. Hak jaminan kebendaan
2. Objek hak Tanggungan adalah hak atas tanah,baik berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang merupakn satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan
3. Diperuntukan untuk menjamin pelunasan utang tertentu
4. Dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor pemegang hak tanggungan.
4. Dasar Hukum Pemberian Hak Tanggungan.
Hak tanggungan sebagai suatu lembaga penjaminan hak maka diperlukan sebuah landasan yuridis agar dalam pelaksanaanya dapat ter arah.Pemberian hak tanggungan dilandaskan pada:
1. Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960
2. Undang-undang Hak Tanggungan No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku tanah Hak Tanggungan,dan sertifikat Hak Tanggungan.
4. Peratutran Menteri Negara agrarian/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu.
5. Surat Menteri Negara /Kepala Badan Pertanahan Nasional No 110-1039 Tertanggal 18 april 1996 perihal penyampaian undang-undang No 4 tahun 1996 (Undang-undang Hak Tanggungan). Dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan nasional No 3 Tahun 1996
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan
7. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 630.1-3433 Tertanggal 17 September 1998 Kepada menteri Pertanahan Perihal agunan sertifikat diatas Tanah Hak pengelolaan.
8. Surat Sekertaris Menteri Negara Agraria No 130-016/Sesmen/1996 Tertanggal 29 Mei 1996 Kepada Direksi Bank Exim Perihal Penjelasan Mengenai UUHT dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional no 3 dan 4 Tahun 1996.
9. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No 30/55/KEP/DIR Tertanggal 8 Agustus 1997 Tentang pemberian Kredit Usaha Kecil untuk mendukung Program kemitraan Terpadu dan pengembangan koperasi
10. Surat keputusan direksi Bank Indonesia No 30/4/KEP/DIR Tertanggal 4 April 1997 Tentang Pemberian kredit Usaha Kecil.
B. Pengertian dan Dasar Hukum Akta Pemberian Hak Tanggungan.
1. Pengertian Akta Pemberian Hak Tanggungan
Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan batasan mengenai akta pemberian hak tanggungan sebagai
akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.

Untuk memenuhi asas spesialitas dari hak tanggungan,baik itu mengenai subjek,objek maupun utang yang dijamin maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan,didalam akta pemberian hak tanggungan wajib dicantumkan hal-hal dibawah ini :
1. nama dan identitas dari pemberi dan pemegang hak tanggungan
2. domisili para pihak pemberi dan pemegang hak tanggungan
3. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin,yang meliputi juga nama dan identitas debituur yang bersangkytan
4. nilai tanggungan
5. uraian jelas mengenai objek hak tanggungan
Kesemuanya yang disebutkan didalam ketentuan pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan pelaksanaan asas, bahwa hak tanggungan menganut asas spesialitas dan publisitas.Sesuai dengan asas spesialitas, objek dan subjek harus disebutkan secara rinci demi memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan berdasarkan asas pendaftaran dan publisitas juga bagi pihak ketiga yang berkepentingan. Pihak ketiga yang akan mengoper hak atas tanah yang bersangkutan.
Dari blanko APHT sebagaimana bagian dari peraturan menteri nasional agrarian/kepala badan pertanahan nasional nomor 3 tahun 1996 dapat diketahui uraian mengenai objek hak tanggungan meliputi rincian mengenai :
1. jenis hak atas tanahnya
2. nomor sertifikat hak atas tanahnya(yang sudah bersertifikat) atau nomor surat bukti hak dan keterangan tanahnya(yang belum bersertifikat)
3. nama pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
4. tanggal dan nomor surat ukur atau gambar situasi atau gambar denah
5. letak tanahnya
6. batas – batas dan luas tanahnya
7. penyebutan alas hak atau bukti-bukti kepemiikan hak atas tanahnya
8. menjelaskan adanya kewajiban pemberi hak tanggungan menyerahkan semua alas hak atau bukti-bukti kepemilikan hak atas tanahnya kepada PPAT untuk keperluan penyelesaian pendaftaran tanahnya (penerbitan sertifikat hak atas tanahnya) dan pendaftaran hak tanggungan
9. penunjukan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanahnya.
2. Dasar Hukum Berlakunya Akta Pemberian Hak Tanggungan
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis,yang dituangkan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).Akta pemberian hak tanggungan ini merupakan akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.
Ketentuan dalam pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996 menyatakan
“Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan oleh pejabat pembuat akta tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
C. Hukum perbankan dan dasar hukum berlakunya perbankan
Perbankan didalam undang – undang no.7 tahun 1992 juncto Undang – undang No.10 tahun 1998 mengenai perbankan.Memiliki pengertian sebagai berikut : “ segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,mencakup kelembagaan,kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
D. Sertifikat Hak Tanggungan
Dalam pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa sebagai tanda bukti adanya Hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan.Sertifikat tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN DEMI BERDASARKAN TUHAN YANG MAHA ESA".Dan dengan demikian mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.Jadi irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji (wanprestasi) siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sertifikat hak tanggungan diterbitkan oleh kepala badan pertanahan nasional dan dapat langsung dimohonkan eksekusi jika, memuat irah-irah dengan kata-kata “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, irah-irah tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai dengan bagian ke-II dari nomor 9 memori penjelasan bagian hukum atas Undang-undang hak tanggungan tahun 1996 yang menjelaskan lebih lanjut bahwa sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hak tanggungan dibutuhkan pencantuman irah-irah tersebut.
Menurut pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa kata-kata sacral “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial dengan kekuatan hukum tetap dan dinyatakan berlaku sebagai pengganti grosse akte hipotik sepanjang mengenaii hak atas tanah.Dalam undang-undang hak tanggungan tentang eksekusi belum diatur, maka peraturan mengenai eksekusi hipotik yang diatur dalam HIR dan RBg berlaku sebagai eksekusi hak tanggungan, memang bahwa sejak lahirnya undang-undang hak tanggungan.



E. Urgensi Notaris Dalam Perbankan
1. Peranan Notaries Dalam Pembuatan Perjanjian Pada Perbankan
Sudah merupakan kelaziman dalam praktek perbankan, sebagaimana praktek dunia bisnis pada umumnya, bahwa untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau jasa perbankan lainnya, hubungan hukum antara bank (termasuk juga bank syariah) dan para nasabahnya selalu dituangkan dalam perjanjian secara tertulis.Apabila hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya dituangkan dalam suatu perjanjian, maka bagi hubungan hukum itu berlaku ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dituangkan dalam perjanjian itu.
Dalam praktek perbankan, bagi hubungan hukum jasa-jasa tertentu, bank menyediakan pula ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum, yang berlakunya ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum tersebut adalah berdasarkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh nasabah atau berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank yang di dalamnya memuat pernyataan bahwa nasabah tunduk pada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum tersebut. Adakalanya ketentuan dan syarat-syarat umum itu dideponir pada suatu kantor notaris. (Sutan Remy Sjahdeini, 2005 : 132)
Dalam Pasal 1 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris, menyatakan bahwa Notaris adalah :
“Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Selanjutnya dalam Pasal 15, menyatakan tentang kewenangan notaris, bahwa
(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan foto copy dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
g. Membuat akta risalah lelang; dan
h. Kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan dari Undang-undang tersebut maka keberadaan notaris dalam melegalisasi akad pada perbankan syariah sangat penting guna menjamin ketertiban dan kepastian hukum dari para pihak yang membuat akad pada perbankan syariah.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya sah apabila perjanjian itu dibuat oleh pihak-pihak yang oleh hukum dianggap cakap untuk membuat suatu perjanjian, dan dibuat berdasarkan kesepakatan diantara para pihak yang membuatnya.
Dengan demikian Kebebasan berkontrak menurut pasal ini menuntut peranan yang sangat penting bagi notaris terhadap keinginan para pihak dalam membuat perjanjian yang dituangkan dalam bentuk akta, utamanya nasabah sebagai pihak yang membutuhkan fasilitas pembiayaan, karena dengan adanya notaris sebagai pihak ketiga dalam perjanjian tersebut diharapkan dapat tercapainya kesepakatan perjanjian yang adil antara para pihak.
Akta dapat mempunyai fungsi formil, yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta.Pembuatan akta dapat berupa :
a. Akta yang di bawah tangan, akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian olah para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat oleh para pihak yang berkepentingan.
b. Akta otentik, akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang, sebagai alat bukti yang sempurna. (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 124 -129)
2. Pedoman Umum Penyusunan Suatu Kontrak Perjanjian Pada Bank
Dalam membuat sebuah surat perjanjian pada perbankan harus mengacu pada hukum positif. Dengan demikian langkah-langkah penyusunan serta bentuk formal suatu akad perjanjian bank tidak jauh berbeda dengan surat perjanjian lainnya. Secara umum, dalam membuat suatu kontrak perjanjian, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut
1. Penguasaan atas aspek bisnis dari kontrak
2. Identifikasi pihak-pihak dalam kontrak
3. Pengenalan karakteristik pihak-pihak dalam kontrak
4. Penguasaan regulasi
5. Penggunaan tenaga lain
Umumnya, setiap kontrak perjanjian mempunyai anatomi sebagai berikut
1. Pembukaan
a. Komparisi
b. Premise
2. Badan Kontrak
a. Defenisi
b. Sunstansi kontrak
c. Hak dan kewajiban khusus
d. Hak dan kewajiban umum
e. Pernyataan dan jaminan
f. Pernyataan afirmatif
g. Pernyataan negative
h. Pemenuhan prasyarat
i. Wanprestasi
j. Pemutusan
k. Pilihan hukum
l. Pilihan yurisdiksi
m. Penyelesaian perselisihan

3. Penutup
a. Testimonium clause
b. Tanda tangan














BAB III
METODE PENELITIAN
A. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian kepustakaan tetapi untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, dilakukan penelitian lapangan.
Jenis Penelitian
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
a. Data Penelitian
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research). Data ini berupa asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum dan dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan akta pemberian hak tanggungan dalam perspektif hukum perikatan
b. Bahan Penelitian
Bahan penelitian kepustakaan ini menghasilkan data sekunder, yang diperoleh dari 2 (dua) bahan hukum, baik itu berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
1. Bahan Hukum Primer terdiri dari :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
d. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
2. Bahan Hukum Sekunder
a. Literatur mengenai sertifikkat hak tanggungan dalam perjanjian kredit pada perbankan.
b. Seminar dan makalah yang berkaitan dengan sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit pada perbankan.
3. Bahan Hukum Tertier, yang meliputi :
a. Al-Qur`an dan terjemahannya.
b. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
c. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia
d. Kamus Hukum.
c. Alat dan cara pengumpulan data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Petama-tama mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku dan berbagai hasil penelitian yang berkaitan erat dengan materi penelitian yang merupakan data sekunder. Setelah dipelajari, selanjutnya disusun dalam suatu kerangka sistematis yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam membuat analisis selanjutnya.
2. Penelitian Lapangan
a. Data Penelitian
Dalam penelitian lapangan ini data yang dicari adalah data primer yaitu data yang berupa keterangan langsung dari subyek penelitian (responden dan nara sumber) yang berkaitan dengan sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit pada perbankan. Dalam memperoleh data primer tersebut, maka ditentukan lokasi dan subyek penelitian.
b. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) kantor cabang Raha. Pemilihan lokasi penelitian di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Raha. Karena PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Raha merupakan salah satu unit usaha Perbankan dari PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) yang merupakan salah satu bank umum konvensional yang terbesar di Indonesia yang melakukan sistem perbankan dan banyaknya/ meningkatnya jumlah nasabah yang melakukan pinjaman kredit dengan hak tanggungan pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Raha dan diadakan di kota Raha dengan pertimbangan bahwa kota Raha sebagai ibukota Kabupaten Muna dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam dan menjadi pusat lalu lintas bisnis dan perdagangan di kawasan Timur Indonesia serta usaha di bidang perbankan sangat maju dengan pesat dengan prospek yang semakin cerah utamanya dalam sistem perbankan yang memberikan pembiayaan kepada masyarakat untuk keperluan modal atau pengembangan usaha.
c. Subyek Penelitian
1. Nara sumber :
a. 2 (dua) orang pakar hukum perbankan. Cq. Akademisi
b. 1 (satu) orang Notaris yang bekerja sama dengan pihak Bank di wilayah kota Raha.
Nara sumber dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa pemilihan nara sumber dari pakar hukum perbankan dan perjanjian, Cq. Akademisi, karena pihak akademisi mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang teori dan praktek dalam pelaksanaan perjanjian dalam hukum dan Notaris karena merupakan pejabat yang diberi wewenang atau tanggung jawab khusus yang diberi oleh undang-undang untuk melaksanakan proses pembuatan sertifikat hak tanggungan pada perbankan diwilayah kota Raha. Para nara sumber akan memberikan keterangan, pemahaman dan gambaran yang jelas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dialami sebagai pejabat dalam melaksanakan tugas jabatannya yang erat kaitannya dengan dengan proses pelaksanaan perjanjian kredit pada perbankan dengan menggunakan hak tanggungan.
2. Responden
Dalam penelitian ini responden adalah Pihak PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) kantor Cabang Raha, Cq. FSO (Financial Service Office) dan Pimpinannya.
d. Alat dan Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan :
1. Wawancara
Untuk melengkapi data di atas maka dilakukan pengumpulan data langsung dari responden dan nara sumber.
2. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara diberikan kepada nara sumber dan responden selaku kepala bagian perkreditan pada PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) kantor Cabang Raha. Dengan pertanyaan secara tertulis. Pedoman wawancara tersebut disiapkan secara kombinasi antara pedoman yang tidak terstruktur dan terstruktur beserta dengan alternatif jawabannya dalam bentuk pertanyaan dan disusun berdasarkan hasil penelitian kepustakaan agar diperoleh pendapat yang lebih mendalam tentang permasalahan yang akan penulis teliti. Wawancara dimulai dengan beberapa pertanyaan yang terstruktur kemudian dari pertanyaan tersebut diajukan lagi pertanyaan yang lebih spesifik sehingga dapat diperoleh jawaban yang lebih lengkap dan mendalam sesuai dengan judul penelitian.
C. Jalannya Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini dilakukan langkah-langkah yang terdiri dari :
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dimulai dengan kegiatan pra-penelitian guna mencari dan mengumpulkan data awal untuk memudahkan pencarian informasi dan data dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan penelitian kepada dosen pembimbing. Setelah melalui proses pembimbingan usulan penelitian dan mendapat persetujuan dari dosen pembimbing kemudian dilanjutkan dengan menyusun daftar pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman wawancara setelah itu dilakukanlah pengurusan ijin penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini pelaksanaannya dilakukan dengan 2 (dua) tahap, yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.
a. Pelaksanaan Penelitian Kepustakaan
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data sekunder, baik yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier. Data sekunder yang diperoleh disusun secara sistematis untuk memudahkan analisis.
b. Pelaksanaan Penelitian Lapangan
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden dan nara sumber. Data primer yang diperoleh dicatat dan disusun secara sistematis untuk memudahkan analisis. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara dilakukan dengan responden dan nara sumber. Wawancara dilakukan dengan sistem tanya jawab secara lisan dan mengacu pada pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Pelaksanaan wawancara dilakukan setelah peneliti terlebih dahulu menyampaikan maksud dan tujuan serta kesediaan responden dan nara sumber untuk diwawancarai.
3. Tahap Penyelesaian
Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap hasil penelitian dengan menggunakan analisis data. Selanjutnya disusun dalam sebuah laporan akhir yang selalu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing untuk perbaikan dan penyempurnaan hasil laporan.
D. Teknik Analisis Data
Setelah proses pengumpulan data, tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan kemudian disusun dalam suatu kerangka yang sistematis sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai prosedur mengenai kekuatan sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit pada perbankan. Sedangkan data primer yang diperoleh dari responden dan narasumber melalui proses wawancara diperiksa kembali kemudian diklasifikasi menurut bidangnya masing-masing yang selanjutnya dicatat secara sistematis dan konsisten kemudian data tersebut dianalisa dan ditafsir secara sistematis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif digunakan terhadap data yang tidak dapat dikuantitatifkan seperti bahan pustaka, dokumen-dokumen, undang-undang, dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan akta pemberian hak tanggungan dalam perjanjian kredit pada perbankan. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil analisis tersebut adalah akan diperoleh gambaran yang menyeluruh dan jelas serta sistematis kemudian akan disajikan secara deskriptif dalam laporan hasil penelitian ini.
E. Hambatan Selama Penelitian
Hambatan utama yang dihadapi adalah kesulitan dalam hal pencarian notaris yang banyak melakukan pembuatan sertifikat hak tanggungan, selain itu kesibukan nara sumber dan responden sehingga harus ditempuh cara menunggu responden dan nara sumber untuk meluangkan waktunya.
F. Cara Mengatasi Hambatan Dalam Penelitian
Agar hambatan-hambatan penelitian tersebut dapat diatasi, maka peneliti memberi prioritas kepada narasumber dengan melakukan pendekatan agar diberikan waktu untuk melakukan wawancara. Selain cara tersebut dilakukan pula dengan terlebih dahulu memasukkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada responden.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan Hak Tanggungan Pada Bank Rakyat Indonesia, Tbk, Cabang Raha.
Adapun prosedur pemberian kredit oleh bank dilakukan melelui tahapan sebagai berikut:
1. a. Debitor mengajukan permohonan kredit yang disertai dengan kelengkapannya, antara lain:
- SIUP - Jaminan
- TDP - Aktivitas Keuangan
Untuk kredit dibawah 50 juta rupiah tidak harus memekai NPWP, tapi untuk kredit diatas 50 juta rupiah mutlak harus menggunakan NPWP.
b. Apabila debitor telah pernah memperoleh fasilitas kredit dari bank lain, debitor harus melampirkan aktivitas keuangan yang disalurkan melalui bank lain tersebut selama 6 bulan terakhir.
2. Setelah permohonan disampaikan kepada bank, maka dari pihak bank akan melakukan:
a. Proses analisa sesuai dengan permohonan yang diajukan, apakah berbentuk kredit investasi atau modal kerja.
b. Pengecekan jaminan meliputi:
- Pengecekan tentang kebenaran/keberadaan jaminan ke lokasi dimana jaminan tersebut terletak.
- Pengecekan keabsahan sertifikat tanah ke Kantor Pertanahan.
Dari proses analisa dan pengecekan jaminan ini bank bisa menentukan diterima atau tidaknya permohonan dari debitor tersebut. Apabila diterima bank bisa menentukan besarnya kredit yang akan diberikan sesuai dengan jaminan yang diberikan, yang putusannya mutlak ada pada pimpinan cabang.
3. Dari putusan pimpinan cabang itu diterbitkan SK (Surat Keputusan) Kredit yang disampaikan kepada calon debitor, yang isinya antara lain:
a. Kredit diterima atau ditolak. (apabila ditolak diberikan SK (Surat Keputusan) penolakan)
b. Kredit disetujui dengan persyaratan tertentu, antara lain:
- Maksimum kredit yang disetujui berapa.
- Keperluannya untuk apa.
- Jenis kreditnya apa.
- Bentuk sifat kreditnya.
- Jangka waktu kredit.
- Provisi/commitmen fee.
- Biaya administrasi.
- Denda.
- Asuransi.
- Jaminan kredit.
- Syarat penarikan, dan lain-lain.
4. Dari persyaratan kredit tersebut, apabila debitor menyetujuinya, maka debitor nantinya harus menandatangani perjanjian kredit. Sedangkan realisasi kreditnya baru dapat dilaksanakan apabila pengikatan jaminan (Hak Tanggungan) telah dilakukan dengan sempurna dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan Pejabat Bank.Pengikatan jaminan ini berupa perbuatan hukum pemberian hak Tanggungan yang dituangkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) ini wajib dibuat dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)/ Notaris- PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Adapun syarat-syarat yang diperlukan untuk pembuatan APHT (Akta Pemberian Hak tanggungan) adalah:
1. Sertifikat asli hak atas tanah.
2. Fotocopy surat bukti identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, apabila perorangan dapat berupa KTP suami/isteri, apabila berbentuk badan hukum harus ada surat kuasa yang diberikan kepada orang yang menjadi wakilnya.
APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) ini dibuat rangkap 4, yang 2 lembar bermaterai, 1 digunakan sebagai arsip dikantor Notaris- PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan 1 lembar lagi digunakan untuk mendaftar ke Kantor Pertanahan Raha. Sedang 2 lembar lagi dibuat tidak bermaterai untuk diberikan kepada debitor dan kreditor, masing-masing memegang 1 lembar APHT ( Akta Pemberian Hak Tanggungan ).
Dalam hal seperti Hak Tanggungan tak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), maka pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan menggunakan SKMHT dimana berkas yang diperlukan untuk pembuatannya antara lain:
1. Fotokopi sertifikat hak atas tanah.
2. Fotokopi bukti identitas para pihak. SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) ini juga dibuat rangkap 4 seperti halnya dalam APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) dan dalam jangka waktu 1 bulan harus diikuti dengan pembuatan APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan). Untuk pembuatan APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) ini yang diperlukan yaitu:
1. Salinan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) yang bermaterai;
2. Sertifikat asli hak atas tanah.
Dalam sub bab ini akan diadakan analisa terhadap pendapat dari para responden sesuai dengan hasil penelitian yang penulis lakukan.
Seperti telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, proses terjadinya hak tanggungan melalui beberapa tahapan yaitu:
- Tahap pertama: proses yang terjadi diawali dengan perjanjian pemberian kredit (perjanjian utang-piutang) yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan.
Sebelum kredit diberikan, kreditor melakukan analisa terhadap permohonan yang diajukan oleh calon debitor, juga melakukan pengecekan jaminan yang meliputi pengecekan terhadap letak/lokasi jaminan, serta pengecekan terhadap keabsahan sertifikat dari tanah yang akan dijadikan jaminan.Dari analisa tersebut kreditor dapat menentukan diterima atau tidaknya permohonan kredit sesuai dengan jaminan yang diberikan.
- Tahap kedua: pemberian Hak Tanggungan (pengikatan jaminan), dengan dibuatnya Akta Pemberi Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Apabila pemberi hak tanggungan tak bisa hadir sendiri dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), maka digunakan SKMHT(Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan).Bagi tanah yang sudah terdaftar, SKMHT(Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) wajib diikuti dengan pembuatan APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) selambat-lambatnya 1 bulan sesudah kuasa diberikan.
Berdasarkan SK (Surat Keputusan) Bank Indonesia No. 26 / 24 /Kep./ Dir tertanggal 29 Mei 1993, untuk kredit-kredit tertentu (kredit kecil), cukup menggunakan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) dimana surat kuasanya berlaku sampai saat berakhirnya masa perjanjian pokok yang bersangkutan.
Menurut penulis, dalam memberikan kredit kecil, kreditor perlu berhati-hati bila hanya akan menggunakan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan).
Sepanjang hal tersebut tak membahayakan posisi kreditor, hak tanggungan belum perlu dibebankan.Disini kreditor harus selalu waspada, begitu debitor menunjukkan tanda-tanda wanprestasi, hak tanggungannya harus segera didaftarkan.Mengenai kredit kecil ini terserah kepada kreditor untuk menggunakan SKMHT(Surat Kuasa Memberikan Hak Tanggungan)atau tidak.Apabila dijalankan oleh calon debitor, hak tanggungan dapat langsung dibebankan.
- Tahap ketiga : pendaftaran hak tanggungan oleh Kantor Pertanahan yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.Waktu kelahiran hak tanggungan telah ditentukan secara pasti oleh undang-undang, yaitu 7 hari setelah pengiriman secara lengkap berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran hak tanggungan.
Karena pemohon yang menginginkan pendaftaran Hak Tanggungan ini banyak sekali maka Kantor Pertanahan akan kesulitan untuk memastikan saat (tanggal) kelahiran tersebut. Penulis setuju dengan kebijaksanaan yang diambil oleh Kantor Pertanahan Kota Raha, dimana untuk menampung kebutuhan para pemohon tersebut dilakukan dengan cara membooking tanggal APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) yang masuk ke Kantor Pertanahan langsung diberi bertanggal (7) hari kemudian setelah tanggal masuknya.Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak, karena tanggal terbit sertifikat yang tak sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dianggap cacat hukum, dan ini akan mempermudah pihak lain yang merasa berkepentingan pula atas obyek hak tanggungan itu untuk beracara di pengadilan.
B. Pembahasan
a. Proses Pembebanan Hak Tanggungan atas Tanah
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui 2 tahap kegiatan, yaitu:
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, yaitu dengan dibuatkannya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan perjanjian piutang yang dijamin.
2. Tahap pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. (Boedi Harsono, Segi-segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan, Jakarata 10 April 1996 hal. 2)
Penjelasan:
1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Dalam Pasal 10 disebutkan bahwa :
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberi Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang di tuangkan di dalam dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan(APHT)oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat 2).
Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan , pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada, akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengingat tanah dengan hak lama ini masih banyak, pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah itu dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut.
Kemungkinan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit.Di samping itu, kemungkinan di atas dimaksudkan juga untuk mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya.
Dengan adanya ketentuan ini berarti bahwa penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai agunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomer 10 Tahun 1998 sebagai revisi Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang dijadikan jaminan dan yang bertugas membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).Hal ini diatur dalam pasal 10 ayat (2). Jika yang dijadikan jaminan lebih dari satu bidang tanah dan diantaranya ada yang letaknya di luar daerah kerjanya, untuk pembuatan APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) yang bersangkutan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) memerlukan ijin dari Kepala Kantor Wilayah BPN (Badan Pertanahan Nasional) Propinsi (pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri No.15 tahun 1961).Namun dalam pasal 3 Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria No. Sk.67/DDA/1968 ditentukan bahwa bidang-bidang tanah tersebut harus terletak dalam satu daerah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya.(Boedi Harsono, Sejarah Pembentukan UUPA, 1999 hal 422).
Dalam pemberian Hak Tanggungan dihadapan PPAT (pejabat Pembuat Akta Tanah)wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan dan penerima Hak Tanggungan dan disaksikan oleh dua orang saksi.Jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat, yang wajib bertindak sebagai saksi adalah Kepala Desa dan seorang anggota pemerintahan dari desa yang bersangkutan (pasal 25 PP No.10 tahun 1961).
Menurut Pasal 22 ayat (1) PP No.10 tahun 1961:
PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)wajib menolak permintaan untuk membuat APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) jika tanah yang bersangkutan masih dalam perselisihan/sengketa.
Sehubungan dengan itu pada umumnya PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) tidak mengetahui tentang ada atau tidaknya sengketa mengenai tanah yang bersangkutan, hal tersebut wajib dinyatakan tidak tersangkut dalam suatu sengketa, dalam APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) perlu dicantumkan pemberian jaminan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa tanah yang ditunjuk sebagai jaminan benar tidak berada dalam sengketa.
a. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Isi dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) terdiri dari yang wajib dicantumkan dan yang tidak wajib dicantumkan (fakultatif).
Dalam rangka memenuhi syarat spesialitas, menurut pasal 11 ayat (1) UUHT, dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) wajib dicantumkan:
1). Nama dan identitas pemberi dan penerima / pemegang Hak Tanggungan (setelah didaftar, Hak Tanggungan yang diberikan lahir dan penerima Hak Tanggungan menjadi pemegang Hak Tanggungan);
2). Domisili pihak-pihak tersebut huruf a. Kalau diantara mereka ada yang berdomisili diluar Indonesia, baginya harus dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Dalam hal pilihan itu tidak dicantumkan, kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang bersangkutan dianggap sebagai domisili yang dipilih (Boedi Harsono, Op.cit: 19);
3). Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dan pasal 10 ayat (1). Penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin tersebut juga meliputi nama dan identitas debitor yang bersangkutan.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa :
Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkut.
Perjanjian yang dapat menimbulkan hubungan utang piutang dapat berupa perjanjian pinjam meminjam maupun perjanjian lain, misalnya perjanjian pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang berada dibawah pengampuan, yang diikuti dengan pemberian Hak Tanggungan oleh pihak pengelola.
4) Nilai Tanggungan
Nilai tanggungan yang dimaksud suatu pernyataan sampai sejumlah berapa batas utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan yang bersangkutan Utang yang sebenarnya bisa kurang dari tanggungan tersebut.
5) Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan Uraian ini meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian kepemilikan, letak, batas-batas dan luas tanahnya. (Sudrajad. Sutarjo . Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya, 1996 hal 80 ).
Isi yang tidak wajib dicantumkan (fakultatif) berupa janji-janji dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya akta.Pihak-pihak bebas untuk menyebutkan atu tidak menyebutkan janji-janji ini dalam APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan).Dengan dimuatnya janji-janji ini dalam APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) yang kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
b. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Dalam pemberian Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), karena pada asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai yang berhak atas obyek Hak Tanggungan. Hanya apabila benar-benar bila diperlukan, yaitu dalam hal tidak dapat hadir sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya.
Pemberian kuasa tersebut wajib dilakukan dengan akta otentik, yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, disingkat SKMHT (pasal 15 UUHT).Untuk memenuhi persyaratan otentik tersebut, bentuk dan isi SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) ditetapkan oleh Menteri Agraria / Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) berdasarkan ketentuan pasal 17 dan pasal 19 PP 10 tahun 1961.
Mengenai SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan), dalam pasal 15 UUHT disebutkan bahwa:
1) SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.
b. tidak memuat kuasa substitusi
c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
Penjelasan
Yang dimaksud dengan " tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain " dalam ketentuan ini misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek Hak Tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah.
Kejelasan mengenai unsur - unsur pokok dalam pembebanan Hak Tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan pemberi Hak Tanggungan.
Sedangkan jumlah utang yang dimaksud adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT.
1) Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) UUHT.
2) SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) selambatlambatnya 1 (satu) bulan setelah diberikan.
3) SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Tanah yang belum terdaftar batas waktu penggunaan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) ditentukan lebih lama daripada tanah yang sudah didaftar, karena memgingat pembuatan APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) pada hak atas tanah yang belum terdaftar harus dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan, yang terlebih dahulu perlu dilengkapi persyaratannya.
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka pelaksanaan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk pemberian kredit terentu yang ditetapkan pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah dan kredit lain yang sejenis, batas waktu berlakunya SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) untuk jenis kredit tertentu dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Pejabat lain yang terkait.
2) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan(SKMHT) yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) dalam waktu yang ditentukan sebagaiman yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.
Ketentuan mengenai batas waktu berlakunya SKMHT ( Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ) dimaksudkan untuk mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan kuasa itu.Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan dibuatnya SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) baru.
2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
a. Buku Tanah Hak Tanggungan
Proses pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan.Pendaftaran dilakukan dengan membuatkan buku tanah untuk Hak Tanggungan yang didaftar dan mencatat dibebaninya hak atas tanah yang dijadikan jaminan pada buku tanah hak atas tanah yang bersangkutan.Catatan pada buku tanah itu disalin pada sertifikat hak atas tanah tersebut.
Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal dibuatnya buku-tanah, dalam arti bahwa sejak pada tanggal itulah kreditor mempunyai kedudukan istimewa.Sehubungan dengan pentingnya arti saat tersebut bagi kreditor, maka hari tanggal buku-tanah itu ditetapkan secara pasti oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan yang bersangkutan.Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya (Pasal 13 ayat 4 dan 5).
Dalam hal hak atas tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat, tanah tersebut wajib disertifikatkan dahulu sebelum dilakukan Hak Tanggungan yang bersangkutan.Waktu hari ketujuh yang ditetapkan sebagai tanggal buku-tanah Hak Tanggungan tersebut dalam hal yang demikian, dihitung sejak selesainya pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
b. Sertifikat Hak Tanggungan
Dalam Pasal 14 UUHT disebutkan bahwa sebagai tanda bukti adanya Hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan.Sertifikat tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN DEMI BERDASARKAN TUHAN YANG MAHA ESA".Dan dengan demikian mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.Jadi irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji (wanprestasi) siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Jika tak diperjanjikan lain, maka sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan untuk sertifikat Hak Tanggungan diserahkan pada pemegang Hak Tanggungan.
b. Pemberian Sertifikat Hak Tanggungan Dipandang Dari Sudut Hukum Perjanjian.
Sebagai tanda bukti telah adanya hak tanggungan, kepada pemegang hak tanggungan akan diberikan sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan.
Demikian ketentuan dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan menetapkan
Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan,kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sesuai dengan peraturan perundang –undangan yang berlaku.

Pasal 14 ayat 1 UUHT mewajibkan kantor pertanahan untuk menerbitkan sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan dan telah terdaftarkannya APHT dan Warkah lainnya dalam buku tanah hak tanggungan.
Dikarenakan sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan maka tentunya ia membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada, atau dengan perkataan lain yang menjadikan patokan pokok adalah tanggal pendaftatran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan. Hak tanggungan tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti lain.
Menurut Ahmad Yani (PPAT wilayah kerja kabupaten muna) Sertifikat hak tanggungan merupakan salinan buku tanah hak tanggungan sekalipun tidak secara tegas disebutkan (hasil wawancara 14 juli 2010).
Bentuk sertifikat hak tanggungan,diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat 2 peraturan menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 tahun 1996 tentang bentuk surat kuasa membebankan hak tanggungan,akta pemberian hak tanggungan,buku tanah hak tanggungan dan sertifikat hak tanggungan.Bahwa sertifikat hak tanggungan itu terdiri atas salinan buku tanah hak tangguungan dan salinan akta pemberian hak tanggungan.
Sertifikat hak tanggungan dalam kaitannya dengan aspek hukum perjanjian :
Didalam kitab undang–undang hukum perdata Pasal 1320 menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian ada 4 yaitu
1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Adanya sebab yang halal.

Di dalam isi sertifikat hak tanggungan yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh kepala badan pertanahan nasional secara umum telah memenuhi keempat unsur sahnya perjanjian menurut kitab undang –undang hukum perdata Hal ini berdasarkan hasil penelitian penulis.
a. Hak tanggungan lahir dari perjanjian
Dalam setiap perikatan pada umumnya selalu terdapat dua unsure yang hadir secara bersama-sama, yaitu schuld dan haftung. Schuld mewakili kewajiban pada diri debitor untuk memenuhi kewajiban, prestasi atau utang yang ada pada dirinya tersebut,dengan tanpa memperhatikan ada tidaknya harta benda miliknya yang dapat disita oleh kreditor bagi pemenuhan piutang kreditor tersebut.Haftung berkaian dengan pertanggung jawaban pemenuhan kewajiban tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk memenuhinya.
Dalam prakteknya biasa diketemukan suatu perjanjian haftung tanpa schuld, perjanjian jenis ini dapat ditemui dari perjanjian pemberian jaminan kebendaan oleh pihak ketiga,yang bertujuan untuk menanggung atau menjamin pemenuhan,pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban.
Dari penjelasan sigkat diatas dapat dilihat bahwa hak tanggungan, sebagaimana defenisnya didalam Pasal 1 butir 1 undang-undang hak tanggungan yaitu :
Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Jelas merupakan suatu jenis jaminan kebendaan yang meskipun tidak dinyatakan denggan tegas adalah jaminan yan lahir dari suatu perjanjian.serta selanjutnya jika dilhat dari ketentuan yang diatur dalam undang-undang hak tanggungan dalam rumusan Pasal 10, 11, dan 12 undang-undang hak tanggungan.
b. Pemberian Sertifikat Hak Tanggungan harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
Pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian dengan rumusan sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

Ilmu hukum selanjutnya membedakan keempat hal tersebut menjadi dua syarat yaiitu syarat subektif dan syarat objektif
a. Pemenuhan syarat subyektif pemberian sertifikat hak tanggungan
1. Tentang kesepakatan untuk memberikan hak tanggungan.
Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dengan penerimaan.
Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berubah bicara.Baik dengan tertulis maupun dengan secara tidak tertulis.Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan dengan hanya disetujuinya pemberian hak tanggungan secara lisan oleh pemilik kebendaan yang akan dijaminkan dengan hak tanggungan, belum melahirkan perikatan atau prestasi atau kewajiban pada diri pemilik kebendaan, yaitu bahwa kebendaanya yang akan dijaminkan dengan hak tanggungan tersebut akan dijual untuuk melunasi utang debitor yang dijamin tersebut. Pemberian hak tanggungan dengan segala akibat hukumnya termasuk kewajiban pemberi hak tanggungan untuk merelakan agar benda yang dijaminkan dengan hak tanggungan tersebut disita,dijual,dan selanjutnya hasil penjualan kebendaaan yang dijaminkan dengan hak tanggungan tersebut dipergunakan untuk melunasi hutang debitor yang dijamin,baru lahir dan mengikat pemilik kebendaan yang akan dijaminkan dengan hak tanggungan,manakala telah dibuat Akta Pemberian Hak Tanggungan dihadapan pejabat pembuat akta tanah hal ini termuat didalam Pasal 10 undang-undang hak tanggungan.yang rumusannya sebagai berikut:
1. Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu,yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan uang tertentu.
2. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan dihadapan PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemberian hak tanggungan itu sendiri akan baru bersifat mengikat pihak ketiga setelah manakala pemberian hak tanggungan tersebut telah didaftarkan dan diumumkan. Hal ini termuat didalam Pasal 13 undang –undang hak tanggungan yang rumusannya sebagai berikut:
1. Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
2. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penanda tanganan akta pemberian hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalm pasal 10 ayat 2, PPAT wajib mengirimkan akta pemberian hak tanggungan yang bersankutan dan warkat lain yang diperlukan kepada kantor pertanahan.
3. Pendaftaran hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh kantor pertanahan denhan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4. Tanggal buku tanah hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaranya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur,buku tanah yang bersangkutan diberi bertangal hari kerja berikutnya.
5. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 4.

Pasal 14
1. sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
2. sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat irah-irah dengan kata – kata “Demi Keadilan Berdsarkan Ketuhanan Yang Maha ESA”.
3. Sertifikat Hak tanggungan sebagimana diaksud pada ayat dua (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti groose acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
4. Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifkat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
5. Sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.

Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai suatu perjanjian formil mensyaratkan dibuatnya akta pemberian hak tanggungan dihadapan pejabat pembuat akta tanah, mengenai suatu penerimaan dari suatu penawaran yang sering kali dipersoalkan dalam perjanjian konsensuil bukan lagi masalah.
Menurut Ahmad Yani suatu perjanjian pemberian hak tanggungan akan memenuhi unsur suatu perjanjian yang sah apabila telah tercapainya suatu kesepakatan antara para pihak yang melakukan perjanjian.
Berdasarkan Pasal 14 undang – undang hak tanggungan telah disebutkan bahwa suatu pemberian hak tanggungan dianggap ada apabila telah didaftarkan dan dibuatkannya suatu sertifikat hak tanggungan oleh badan pertanahan nasional setempat.
Menurut penulis mengingat sertifikat hak tanggungan bersifat asesoir maka sertifikat hak tanggungan mengikuti perjanjian yang telah dibuat sebelumnya olehnya itu penulis berpendapat bahwa suatu sertifikat hak tanggungan akan tidak memenuhi unsur suatu perjanjian apabila pada perjanjian sebelumnya, perjanjian itu tidak memenuhi unsur suatu perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam kitab undang-undang hukum perdata.
2. Kecakapan untuk memberikan hak tanggungan.
Kecakapan adalah kemampuan menurut Hukum untuk melakukan perbuatan Hukum (perjanjian).Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak.
Undang – undang hak tanggungan memuat ketentuan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dalam pasal 8 dan pasal 9 undang – undang hak tanggungan yang rumusannya sebagai berikut:
Pasal 8
1. Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.
2. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan


Pasal 9
Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai piutang.

Dari rumusan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa undang-undang hak tanggungan membicarakan mengenai dua hal :
1. Mengenai kapasitas dari subyek hukum yang membuat perjanjian pemberian hak tanggungan
2. Mengenai keterkaitan hubungan objektif antara subjek hukum yang membat perjanjian pemberian hak tanggungan dengan hak atas tanah yang merupakan objek perjanjian pemberian hak tanggungan.
Menurut Ahmad Yani bahwa seseorang yang dapat melakukan suatu perjanjian pemberian hak tanggungan dan segala perbuatan yang berkaitan dengan perjanjian hak tanggungan yang salah satunya adalah sertifikat hak tanggungan haruslah memenuhi unsur kedewasaan apabila dia melakukan perbuatan hukum demi kepentingan pribadi.(wawancara 15 juli 2010)
Dalam Kitab Undang–Undang Hukum Perdata hal – hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan pribadi diatur dalam Pasal 1329 sampai 1331.Pasal 1329 Kitab undang – undang hukum perdata menyatakan bahwa :
Pasal 1329
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan – perikatan,jika ia oleh undang – undang tidak dinyatakan tak cakap.
Rumusan tersebut membawa arti positive bahwa selain dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum.Pasal 1330 kitab undang-undang hukum perdata memberikan limitasi orang – orang yang dapat dianggap cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa :
Pasal 1330
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1. orang – orang yang belum dewasa
2. mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. orang – orang perempuan dalam hal – hal yang ditetapkan undang – undang dan pada umumnya semua orang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

b. Syarat obyektif
1. tentang hal tertentu.
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas, jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang tertentu.
Menurut ahmad yani suatu perjanjian hak tanggungan haruslah memiliki suatu pokok perjanjian dan pokok perjanjian pemberian hak tanggungan adalah utang yang dijaminkan pelunasanya. Menurutnya juga, didalam sertifikat hak tanggungan walaupun bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh Peraturan perundang – undangan yang berlaku namun didalamnya telah termuat suatu klausul yang menyebutkan suatu hal tertentu dalm artian pokok perjanjian.(wawancara tanggal 15 juli 2010)
Dalam perjanjian pemberian atau pembebanan hak tanggungan, yang merupakan perjanjian jaminan kebendaan yang melahirkan perikatan dengan haftung dan schuld, eksistensi dari kebendaan telah ditentukan terlebih dahulu juga merupakan hal yang sangat penting.Hal ini telah dijelaskan didalam rumusan Pasal 11 undang-undang hak tanggungan dimana ditentukan mengenai
a. Penunjukan secara jelas utang atau utang – utang yang dijamin sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 dan 10 Undang-Undang Hak Tanggungan
b. Nilai tanggungan
c. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan.

2. Tentang sebab yang halal dalam pemberian hak tanggungan
Mengenai suatu sebab yang halal,hal ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Kata halal yang dimaksudkan bukan untuk memperlawankan kata haram dalam islam tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut dapat bertentangan dengan undang-undang Kesusilaan dan Ketertiban Umum.
Menurut Ahmad Yani bahwa dalam suatu perjanjian dibuat haruslah didasarkan oleh suatu sebab yang halal. Menurutnya sebab yang halal ini adalah suatu sebab yang tidak melanggar nilai kesusilaan dan ketertiban umum. Didalam pembuatan sertifikat hak tanggungan yang merupakan bagian dari proses perjanjian pemberian hak tanggungan didasarkan oleh suatu sebab yang halal.Dikarenakan pembuatan sertifikat hak tanggungan merupakan suatu pelaksanaan prinsip kehati–hatian bank dalam memberikan kredit pada nasabahnya (wawancara tanggal 15 juli 2010).
Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan sebagaimana dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1 butir 1 undang – undang hak tanggungan jelas bahwa dalam perjanjian pemberian hak tanggungan ini,sebagai suatu perjanjian yang melahirkan perikatan tanpa schuld dan haftung,pemegang hak tanggungan tidak mempersoalkan pelaksanaan prestasi pemberi hak tanggungan, melainkan semata-mata untuk menyita,menjual dan memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari piutangnya yang dijamin,secara tidak pari passu dan tidak prorata
Menurut penulis, Jika memperhatikan penjelasan umum butir 8 Undang-Undang Hak Tanggungan yang secara tegas menyatakan bahwa perjanjian pemberian hak tanggungan adalah bersifat assesoir terhadap perikatan pokok,yang tanpa adanya keberadaan dari utang pokok tersebut maka hak tanggungan tidak pernah ada.Dengan demikian dapat berarti keberadaan dari utang pokok adalah kausa atau sebab bagi adanya hak tanggungan. .
Berdasarkan uraian diatas dan hasil penelusuran serta wawancara penulis dengan responden, penulis berpendapat bahwasannya walaupun didalam pemberian hak tanggungan,sertfikat hak tanggungan telah ditetapkan bentuk dan isinya oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku tidak membatasi terpenuhinya unsur-unsur perjanjian mengingat sertifikat hak tanggungan merupakan salinan dari akta pemberian hak tanggungan dan buku tanah hak tanggungan. Dimana kedua hal tersebut merupakan suatu persyaratan mutlak bagi pelaksanaan perjanjian hak tanggungan.Serta segala hal – hal yang tercakup didalamnya merupakan asssesoir dari perjanjian pokoknya.
c. Akibat hukum yang ditimbulkan dengan lahirnya Sertifikat Hak Tanggungan dalam Perjanjian Kredit Perbankan.
1. Subjek Hak Tanggungan
a. Pemberi Hak Tanggungan
Ketentuan dalam Pasal 8 ayat 1 undang – undang hak tanggungan menyatakan
Pemberi hak tanggungan adalah orang- perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.

Dari bunyi ketentuan Pasal 8 ayat 1 undang – undang hak tanggungan diatas dapat diketahui siapa yang menjadi pemberi hak tanggungan dan mengenai persyaratannya sebagai pemberi hak tanggungan.Sebagai pemberi hak tanggungan tersebut, bisa orang perseorangan atau badan hukum.Pemberinya pun tidak harus debitur sendiri, bisa saja orang lain atau bersama–sama dengan debitur,dimana bersedia menjamin pelunasan utang debitur.
Pada prinsipnya setiap orang perseorangan attaupun badan hukum dapat menjadi pemberi hak tanggungan,sepanjang mempunyai “kewenagan hukum”untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dijadikan sebagai jaminan bagi pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan sebagaimana dipersyaratkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat 1 undang – undang hak tanggungan dan demikian pula dinyatakan dalam angka 7 penjelasan umum atas Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu :
Pada saat pembuatan SKMHT dan akta pemberian hak tanggungan harus sudah ada keyakinan pada notaris atau PPAT yang bersangkutan,bahwa pemberi hak tanggungan mempunyai kewenagan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang dibebankan,walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan didaftar.

Dari ketentuan diatas jelas bahwa pemberi hak tanggungan haruslah mereka yang mempunyai kewenangan dalam melakukan perbuatan hukum atau tindakan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dibebani dengan hak tanggungan. Sebab mereka inilah yang mempunyai kewenangan melakukan tindakan kepemilikan (beschikking) atau persil yang bersangkutan, termasuk kewenangan untuk membebankan persilnya tersebut sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Jadi, persyaratan pemberi hak tanggungan,selain mereka yang cakap dalam bertindak, mereka yang juga yang memiiki kewenangan hukum artinya tidak setiap orang yang dinyatakan cakap bertindak secara hukum dapat menjadi pemberi hak tanggungan, tetapi dipersyaratkan pula harus orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan hukum untuk melakukan tindakan kepemiikan atas persil yang menjadi obyek hak tanggungan.
Di dalam perjanjian kredit yang telah disebutkan para pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut.Mengingat perjanjian hak tanggungan bersifat assesoir maka para pihak yang memiliki kewenangan hukum untuk melakukan perbuatan hukum dalam pemberian hak tanggungan adalah para pihak yang tercantum identitasnya didalam perjanjian kredit yang kemudian dimasukkan didalam akta pemberian hak tanggungan serta didaftarkan dikantor pertanahan dan dikeluarkannya sertifikat hak tanggungan.
b. Penerima dan Pemegang Hak tanggungan
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi penerima dan pemegang hak tanggungan, baik orang perseorangan maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan
Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Berbeda dengan pemberi hak tanggungan, terhadap penerima dan pemegang hak tanggungan tidak terdapat persyaratan khusus.Penerima dan pemegang hak tanggungan dapat orang perseorangan atau badan hukum bahkan pihak asing atau badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia maupun diluar negeri dapat menjadi penerima dan pemegang hak tanggungan asalkan kredit yang diberikan tersebut menurut penjelasan Pasal 10 ayat 1 undang – undang hak tanggungan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan diwilayah Negara repubik Indonesia.Dengan demikian yang menjadi pemegang hak tanggungan bisa orang (person alamiah) dan badan hukum (rechtpersoon) pengertian badan hukum disini perlu diartikan dalam pengertian yang luas.
Kata yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang dalam Pasal 9 undang – undang hak tanggungan secara tidak langsung menegaskan bahwa perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian yang assesoir dengan perjanjian lain, dalam perjanjian mana pemegang hak tanggungan berkedudukan sebagai kreditor.
Kedudukan sebagai pemegang hak tanggungan harus selalu dikaitkan dengan kedudukannya sebagai kreditor, Mengingat bukankah perjanjian hak tanggungan itu diberikan untuk menjamin pelunasan utang debitor terhadap kreditor serta menjamin tagihan kreditor pada debitor.
Setelah dibuatnya akta pemberian hak tanggungan, kreditor berkedudukan sebagai penerima hak tanggungan dan setelah dilakukan pembukuan hak tanggungan yang bersangkutan dalam buku tanah hak tanggungan, penerima hak tanggungan menjadi pemegang hak tanggungan.
Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa resiko, karena suatu resiko mungkin saja terjadi.Resiko yang umumnya terjadi adalah resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan.Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang dipinjamkan kepada debitor berasal atau bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu sehingga resiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.
Kredit yang diberikan oleh bank tentu saja mengandung resiko ,sehingga dalam pelaksanaannya, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Bank harus dapat bersikap bijak dalam memberikan pinjaman atau kredit kepada masyarakat sehingga dalam hal ini pihak bank haruslah memperhatikan prinsip-prinsip penyaluran atau pemberian kredit.Prinsip penyaluran kredit adalah prinsip kepercayaan, tenggang waktu,degree of risk, resiko, prestasi/objek kredit.
Menurut Harun (kepala Bagian kredit Bank BRI cabang Raha)Salah satu bentuk kehati-hatian pihak bank dalam memberikan kredit adalah mempertimbangkan jaminan yang diberikan nasabah.Salah satu jaminan yang digunakan oleh nasabah adalah penggunaan lembaga jaminan dengan hak tanggungan. (wawancara tanggal 15 juli 2010)
Pemberian kredit dengan hak tanggungan adalah salah satu alternative bagi nasabah yang ingin melakukan pinjaman kredit pada bank BRI cabang Raha.
Menurut Ahmad Yani sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, kepada pemegang hak tanggungan akan diberikan sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan oleh kantor pertanahan. (Wawancara tanggal 19 juli 2010)
Hal ini pula lebih dikuatkan dengan ketentuan Pasal 14 ayat 1 undang – undang hak tanggungan yang menetapkan:
Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan,kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sesua dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Pasal 14 ayat 1 undang – undang hak tanggungan mewajibkan kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti telah didaftarkannya akta pemberian hak tanggungan dan warkah lainnya dalam buku tanah hak tanggungan.
Berkaitan dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam Pasal 14 ayat 3 undang – undang hak tanggungan dinyatakan secara tegas:
Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

Adapun penjelasan atas Pasal 14 ayat 2 dan ayat 3 undang – undang hak tanggungan menyatakan:
Irah – irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan dan dalam ketentuan ayat ini,dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu petusan pengadilan yang telah memilii kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan hukum acara perdata.

Sebelumnya dalam angka 9 penjelasan umum Undang – Undang Hak Tanggungan antara lain dinyatakan
Sehubungan dengan itu pada sertifikat hak tanggungan, yang berfungsi sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan dibubuhi dengan irah-irah dengan kata – kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.Selain itu pada sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti groose acte hypotheek atas tanahh ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal – pasal kedua reglemen diatas.

Menurut harun yang menjadi kekuatan bagi pihak debitur untuk melakukan eksekusi terhadap jaminan nasabah yang menggunakan hak tanggungan adalah adanya sertifikat hak tanggungan (wawancara 20 juli 2010)
Senada dengan yang diucapkan oleh Harun, Ahmad Yani menyatakan juga yang menjadi kekuatan bagi pihak bank untuk melakukan penyitaan terhadap jaminan nasabah yang cedera janji adalah sertifikat hak tanggungan.
Menurutnya pula dengan adanya sertifikat hak tanggungan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian kredit dengan menggunakan hak tanggungan (wawancara 21 juli 2010)
Berdasarkan hasil penelusuran penulis dan penelitian penulis, penulis bependapat bahwa akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit adalah
1. Dengan adanya sertifikat hak tanggungan maka telah terdapat bukti bahwa telah ada hak tanggungan
2. Memberikan kekuatan bagi kreditor untuk melakukan penyitaan terhadap jaminan debitor yang cedera janji

















BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Walaupun didalam pemberian hak tanggungan,sertfikat hak tanggungan telah ditetapkan bentuk dan isinya oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku tidak membatasi terpenuhinya unsur-unsur perjanjian mengingat sertifikat hak tanggugan merupakan salinan dari akta pemberian hak tanggungan dan buku tanah hak tanggungan. Dimana kedua hal tersebut merupakan suatu persyaratan mutlak bagi pelaksanaan perjanjian hak tanggungan. Serta segala hal – hal yang tercakup didalamnya merupakan asssesoir dari perjanjian pokoknya
2. Akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya sertifikat hak tanggungan dalam perjanjian kredit adalah
a. Adanya sertifikat hak tanggungan maka telah terdapat bukti bahwa telah ada hak tanggungan
b. Memberikan kekuatan bagi kreditor untuk melakukan penyitaan terhadap jaminan debitor yang cedera janji
B. Saran
1. Demi tertibnya serta tercapainya tujuan dari hukum khususnya pada hukum perjanjian maka didalam pelaksanaan perjanjian kredit pada perbankan yang menggunakan lembaga jaminan hak tanggungan diharapkan seluruh pihak yang terkait didalamnya mempersiapkan segala sesuatu persyaratannya agar tidak melenceng dari segala ketentuan hukum yang berlaku.
2. Untuk meningkatkan pemahaman tentang pelaksanaan perjanjian kredit dengan hak tanggungan pada masyarakat perlu diadakan sosialisasi yang lebih intensif sehingga masyarakat dapat memahami dan dapat memberikan kontribusi bagi terselenggaranya kegiatan perekonomian nasional yang sehat sesuai dengan kaidah perbankan


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media, Yogyakarta.
Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris, Yasrif Watampone, Jakarta.
A.F Beith, 2001,Ekonomi Kerakyatan, Yayasan Almunawarah, Jakarta.
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ahmadi Miru, 2009, Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta.
Boedi Harsono, 1996. Segi-segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan, Jakarta.
Boedi Harsono. 1996. Segi-segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan,Jakarta : Djambatan
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia Nasional : Sejarah Pembentukan UUPA. Jakarta : Djambatan
Chairuman Pasaribu. 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Eugenia, Liliawati Muljono, 1996, Eksekusi Grosse Akta Hipotik Oleh Bank, Rineka Cipta, Jakarta.
Fennieka Kristianto, 2009, Kewenangan Menggugat Pailit Dalam Perjanjian Kredit Sindikasi, Penerbit Minerva Athena Presindo, Jakarta.
H.R.W.Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan Boerhanuddin St. Batoeah N.E.Algra, 1983, Kamus Istilah Hukum, Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Penerbit Bina Cipta, Jakarta.
HS Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
J Satrio, 1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kartini Muljadi. 2008, Hak Tanggungan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Malayu SP Hasibuan, 2007, Dasar-dasar Perbankan, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Munir,Fuady, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Peter Mahmud . 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta.
R.Subekti.,dan Tjitrosudibio, 1985, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayu Media Publishing, Jawa timur.
Sunaryati Hartono, 1988, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, BinaCipta, Bandung.
Sudikno Mertokkusumo, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sudarsono, 2005, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Sutardja Sudrajad. 1996. Pendaftaran Hak Tanggungan Dan Penerbitan Sertifikatnya, Makalah Seminar Nasional "Undang-Undang Hak
Tanggungan. Jakarta.
Teguh Pudjo Muljono, 1997, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil, BPFEU, UGM, Yogyakarta.
Kitab dan Himpunan Peraturan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Penjelasannya
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Penjelasannya